Footprint

There’s always a first time for everything.
So, it was the very first time for me visiting Singapore, the country next door. I was leaving Jakarta by Air Asia earliest flight at 5.40 am. Really, I woke up at 3.00, got prepared, and heading to Soekarno-Hatta airport at 3.30.

Safely landed at Terminal 1 Changi Airport at sometimes around 7.30, Singapore time, which is an hour ahead than Jakarta. Got my M1 card activated before roaming tariff drains my purse, and then leaving for The Sleepy Kiwi at Bussorah Street to got myself checked in. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

23 oktober 2010 – 18.00

Entah apa yang ada di pikiran saya saat mendadak mengirim pesan singkat ke sahabat saya, Andri, yang tinggal di Cilegon, Banten.

“Kalo aku berangkat ke situ sekarang, jam berapa ya sampai di situ?”

Berawal dari pesan tersebut, berangkatlah saya dari kos di daerah Mampang sekitar pukul 19.00, menggunakan taksi ke arah Rumah Sakit Harapan Kita. Untuk selanjutnya menumpang bus antar kota ke Cilegon.

Nekat saja, seperti biasa. Berbekal pesan-pesan pendek dari Andri tentang rute yang harus saya tempuh. Seingat saya waktu itu isi otak saya terlalu penuh oleh masalah yang sekarang sudah tak berhasil saya ingat. Hehehe, short term memory lost.

Waktu itu adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di kota bernama Cilegon, sudah menjelang pukul 21.30 dan dalam kondisi mengenaskan. Kelaparan, lebih tepatnya. Langsung saja saya (yang sudah bertemu dengan Andri) melipir ke gerai makanan cepat saji 24 jam, yang tak lain tak bukan adalah KFC… *hening*

Segera setelah perut terisi sayap-sayap ayam goreng dan sekepal besar nasi, kami menuju ke mess tempat Andri tinggal. Tak banyak kegiatan malam itu. Hanya obrolan curahan hati dan selintas rencana besok mau ke mana.

24 Oktober 2010 – pagi

Terbangun dihadapi pertanyaan: mau ke mana? Pilihannya adalah Anyer atau……Lampung.

Lampung, yuk! Seru saya kegilaan. Maksud saya, sudah kabur ke Cilegon, sekalian saja gila. Sekalian saja, ke Lampung. Cantik-cantik begini *hening*, saya belum pernah sekalipun menjejak di tanah Andalas, alias pulau Sumatera. *silakan tampar*

Rembuk punya rembuk, beberapa teman Andri ternyata mau ikut juga. Jadilah kami berenam, termasuk satu guide, pacar tersayangnya Andri, sebut saja namanya Kak Nunu, nama sebenarnya *hening* menuju ke pelabuhan Merak.

Sudah hampir tengah hari ketika kapal beranjak dari pelabuhan Merak, mengarungi Selat Sunda. Saya yang jarang sekali naik kapal, lompat-lompat kegirangan. Lompat di dek saja, ga sampai nyemplung ke laut kok. *kenapa enggak?*

Setengah jam… sejam… saya mulai bosan. Mata menerawang ke lautan yang seperti tak bertepi. Mulai galau. Mulai ngantuk. Mulai berencana tidur. Sampai tiba-tiba saya menemukan sesuatu di tengah laut lepas. Bukan! Bukan ikan duyung kalau itu yang ada dalam bayanganmu. Bukan juga harta karun yang mengapung. *oke stop* Tapi sekawanan ikan lumba-lumba yang berenang berlompatan dengan lucunya. Tak lama. Setelah itu mereka hilang.

Dan saya bosan lagi.

Melamun lagi.

Sudah hampir dua jam terapung-apung di lautan, gerimis turun setetes dua tetes. Kami berlarian turun ke dek bawah. Akhirnya saya benar-benar tidur di situ.

Terbangun. Dan belum menjumpai daratan pula. Ada yang aneh.

Ternyata kapal masih dalam antrean untuk merapat ke dermaga pelabuhan Bakauheni. Perjalanan yang seharusnya hanya dua sampai tiga jampun menjadi terulur hingga empat setengah jam. Muka sudah kusut, tenaga nyaris habis, semangat merosot sudah ketika akhirnya kami menginjak tanah Andalas. 16.30!

Sejujurnya, kami…oke, ganti saja dengan saya, tak punya tujuan ke Lampung. Namanya saja perjalanan tak terencana, ditambah lagi, harus kembali ke Jakarta malam itu juga. Jadi ya, kira-kira ada waktu sekitar dua atau tiga jam di Lampung. Tidak mungkin juga untuk menuju obyek-obyek wisata, dan diperburuk oleh hujan yang dengan senang hati menyambut.

Jadilah kami terburu-buru ke rumah paman Kak Nunu yang berjarak hanya sekitar 2 km dari pelabuhan.  Lalu menuju ke Menara Siger yang tak jauh dari kediaman beliau. Menara Siger ini konon adalah lambang Provinsi Lampung yang bentuknya diadaptasi dari mahkota tradisional Lampung.

Tak lama di Menara Siger. Setelah berfoto-foto di bawah rintik hujan, kami kembali ke rumah paman Kak Nunu untuk istirahat sebentar kemudian langsung ke pelabuhan Bakauheni. Perjalanan kembali ke tanah Jawa tidak terlalu banyak cerita. Dengan sebuah buku di tangan, saya tidur-tiduran di geladak sampai benar-benar ketiduran. Menyimpan energi untuk besok, Senin pagi dan rutinitas kerja seperti biasa.

Kapal merapat di pelabuhan Merak lepas tengah malam. Setelah mengambil barang-barang yang tertinggal di mess Andri, langsung diantar Kak Nunu mencari bus tujuan kembali ke Jakarta.

25 Oktober 2010

Senin pagi, sudah nyaris subuh saat saya akhirnya tiba di kamar kos.

Perjalanan yang entah tujuannya apa, tapi bagi saya, perjalanan  itu lebih tentang apa yang saya alami di sepanjangnya. Bukan harus tentang tujuannya.

Sampai jumpa lagi, Cilegon, Lampung! :)

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

SawarnaPerjalanan ke Sawarna kali ini tanpa direncanakan dari jauh hari. Menjelang libur akhir pekan yg panjang Februari lalu, secara tak sengaja saya menemukan Sawarna dari google. Karena belum ada rencana untuk menghabiskan waktu libur, maka saya dan beberapa kawan memutuskan untuk mencoba ngeluyur kesana. Dan begitulah, pada suatu Jumat lepas subuh, berangkatlah kami dari titik awal, Mampang.

Menggunakan taksi (angkot masih jarang banget pagi-pagi), kami menuju Stasiun Tanah Abang. Tiba di sana, masih terlalu pagi, kami langsung menuju loket, beli karcis kereta ekonomi tujuan Rangkas Bitung, seharga 4000 rupiah. Lalu kami putar-putar sekitar stasiun, cari sarapan.

Sekitar jam 7 pagi, akhirnya kereta kami tiba. Tanpa keheranan sama sekali, keretanya super penuh. Sesak manusia, barang, binatang *errrr* dan COPET. Ya benar, ini kereta paling tidak manusiawi yg pernah saya naiki. Mungkin jumlah copetnya sebanding dengan jumlah penumpangnya.

Di suatu stasiun, kereta berhenti. Naiklah serombongan keluarga yg terdiri dari bapak, ibu dan anak. Mereka berdiri persis di depan saya. Beberapa saat setelah kereta jalan lagi, si anak mengadu bahwa ponselnya tercopet. Si bapak memarahi anak yg dianggap tidak hati-hati, sambil meraba kantongnya. Dan ternyata ponsel si bapak juga hilang. Maka “berkicau” lah si ibu kepada mereka berdua, sebelum disadarinya bahwa dompet yg ada di dalam tasnya juga raib. Nah, terjadilah drama. Si ibu histeris menjerit-jerit, memaki copet yg dianggapnya keterlaluan, mengambil semua barang mereka sekeluarga. Well, saya speechless.

Di samping saya, berdiri seorang mbak-mbak yg jadi memeriksa tasnya setelah si ibu histeris. Lalu dengan “tenang” si mbak berujar “Dompet saya juga hilang.”. Saya bengong melihat perbedaan reaksinya. Yah, mungkin si mbak ini sudah sangat maklum dengan kondisi kereta, dan juga segala resikonya.

Tiba di Rangkas Bitung tanpa kekurangan suatu apa, kecuali kaki yg mati rasa, sudah menjelang jam 11. Lalu kami lanjut dengan angkot seharga 2000 rupiah menuju terminal Mandala. Dari Mandala, kami naik angkutan Elf menuju Bayah. Nah, di sinilah ujian sebenarnya. Perjalanan tiga jam dengan trayek yg mengocok perut. Insya Allah dijamin sampai Bayah, diri Anda sudah terkocok sempurna, siap dipanggang dalam oven (berasa adonan kue). Tarif Elf dari Mandala sampai Bayah 25000 rupiah.

Bayah adalah titik angkutan umum terakhir sebelum Sawarna. Setelah itu, pilihannya adalah ojek, atau kalau rombongan, carter saja Elf-nya sampai Sawarna, seperti kami kemarin. Tarif dari bayah ke Sawarna berkisar 10000 – 15000 rupiah.

SawaraSawarna adalah desa wisata, yg artinya, di sana tidak ada hotel atau losmen besar. Tapi kita bisa menginap di rumah-rumah penduduk yg memang disewakan. Tarif penginapan di Sawarna berkisar antara 60000-90000 rupiah, biasanya sudah termasuk makan 3x sehari.

Jam tiga sore, kami tiba di rumah Ibu Nenden, tempat dimana kami akan menginap. Langsung dijamu dengan makan siang yang, ehm, bikin pengen nambah. Rumah bu Nenden ini lokasinya cukup strategis, hanya beberapa ratus meter dari bibir pantai Ciantir. Jadi kalau malam, tidur diiringi alunan debur ombak. Tsaaaah, romantis deh ;p

Sore itu, kami langsung menuju pantai, bermain ombak sejenak, sambil rencananya menunggu matahari terbenam. Tapi apa mau dikata, beberapa menit sebelum matahari turun tahta, mendung gelap menggelayuti langit, hujan rintik turun. Kami pun berlarian kembali ke rumah.

Jika malam tiba di Sawarna, tak banyak aktifitas yg dapat dilakukan, maka saran saya, bawalah permainan alakadarnya. Seperti kami malam itu, mabuk bermain kartu hingga larut.

Pagi menyapa pelan, sisa hujan semalam masih terasa, dingin. Setelah bergantian mandi, kami disuguhi sarapan, dengan menu yg tak jauh dari olahan ikan. Sembari menunggu rombongan teman yg rencananya menyusul, kami main kartu, lagi.

Goa LalaySekitar jam 11, setelah yg ditunggu datang, kami menuju ke Goa Lalay. Diantarkan seorang guide, kami menyusuri goa bersungai dan berlumpur dalam kegelapan. Hanya ditemani senter berkelipan. Pengalaman seru berkubang lumpur, dan menahan diri untuk tidak jatuh dibayar seharga 50000 rupiah. Lewat tengah hari kami keluar dari goa, kembali ke penginapan, dan langsung disuguhi makan siang, nyammm.

Jelang sore hari, kami beringsut lagi ke pantai. Kali ini serius, main air, main istana pasir, mengubur orang hidup-hidup, main bola dan tak lupa foto-foto, hehe. Saat matahari mulai semakin turun, kami menyusuri tepian pantai, menuju Tanjung Layar. Konon, di Tanjung Layar, pemandangan matahari terbenamnya sangat indah. Dan Tanjung Layar juga merupakan titik yg menjadi tujuan para peselancar. Well, sialnya adalah, sampai di sana, kami tak bisa lagi foto-foto, baterai kamera habis. Malam kedua, kami bertemankan hujan lagi, dan tentu saja, main kartu lagi.

SawarnaMinggu pagi cerah, kami bersiap kembali ke Jakarta. Setelah sarapan, jam 10 kami berpamitan. Dengan menumpang ojek, kami kembali ke Bayah, lalu lanjut dengan Elf ke Rangkas Bitung. Tiba di terminal matahari sudah sangat terik. Kami makan siang sebelum melanjutkan perjalanan.

Lewat diskusi, kami memutuskan untuk tidak menggunakan kereta, tapi bus antar kota antar propinsi. Berharap kondisinya lebih kondusif dan tentu saja, tidak banyak copetnya. Well, untuk yang terakhir memang benar, busnya bebas copet, namun sekali lagi, kami dikocok di jalanan. Phewwww.

Malam merambat turun, kami tiba di terminal Kalideres. Perjalanan berikutnya kami lanjutkan dengan bus Transjakarta. Touch down rumah jam 9 malam. Badan rasanya luar biasa, capek tapi puas. And so, that’s all. Petualangan ke surga tersembunyi, Sawarna, Banten.

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

Menerima undangan Aresh untuk ngeluyur, Sabtu, 4 Juli 2009, saya bersama Aresh & Adi melakukan perjalanan ke Gunung Padang, Cianjur.

Berangkat dari kost jam 6 pagi, diantar Ndut sampe Stasiun Pasar Minggu Baru, start point kami. Rencana naek KRL pertama ternyata gagal. Karena ada kerusakan, kereta pertama nyampe Stasiun PSB udah jam 7, dengan kondisi penuh, akibat penumpukan penumpang, Kami memutuskan naek kereta berikutnya, sekitar 5 menit berselang.

Jam 8 kami tiba di Stasiun Bogor, langsung ganti angkot 03 menuju terminal Baranangsiang. Lalu mencari angkutan ke arah Sukabumi. Kenapa Sukabumi bukan Cianjur? Yak, karena topografi Cianjur yang memanjang dari utara ke selatan, so, ada beberapa daerah Cianjur yang lebih mudah dicapai dari Sukabumi, termasuk Gunung Padang. Angkutan yang membawa kami ke Sukabumi adalah sebuah colt L300, yang biasa juga disebut mobil setan, saking urakan sopirnya mengemudikannya. Kadang offroad nyalip mobil lain dari sebelah kiri, keluar dari aspal, melalui bahu jalan yang masih tanah dan tak beraturan. Hiahahahaha, tarek maaangg

Rencana balik ke Jakarta sebelum gelap hampir dipastikan gagal, karena jam saya sudah menunjukkan pukul 11.30 ketika kami tiba di Sukabumi. Secara, Aresh dan Adi lupa-lupa ingat harus naek angkot apa, dan saya mah pasti 100% blank, baru sekalinya ke Sukabumi, kami sempet tertipu sama angkot yang seharusnya menuju alun-alun. Ngga tau angkotnya aneh, kata Aresh, dia ngga lewat rute yang seharusnya. Alhasil kami diturunkan di pinggir sebuah pasar dan harus berjalan menyusuri pasar itu, menuju ujung jalan lain.

Untungnya setelah itu, kami berhasil naek ke angkot yang tepat, sebuah angkot pink berkode 01 yang membawa kami ke pos berikutnya, Sukaraja. Sedikit bertanya ke supir angkot, tapi ngga tau dimana itu Gunung Padang. Si supir coba tanyain ke kenek angkot yg di Sukaraja, trus dikasih info angkot apa selanjutnya yg kami harus naek. Dasar udah paranoid abis ketipu ama angkot sebelumnya, kami agak ragu naek angkot berikutnya, angkot biru muda tanpa nomor (eh, mungkin ada tapi saya ga perhatiin) menuju pos berikutnya, yaitu Gekbrong, perbatasan Sukabumi Cianjur.

Sudah jam makan siang waktu kami nyampe di Gekbrong. Celingak celinguk nyari warung makan, nemu warung mie ayam & baso. Saya dan Aresh masuk dan mesen duluan, sementara Adi menuruti hasrat ke toilet. Kembali dari toilet, Adi membawa kabar baik, selembar kertas bertuliskan rute yang benar menuju Gunung Padang, hasil interview sama tukang ojek yang kemaren anaknya baru pergi ke sana. Yesss!!! Harapan kami naek lagi, semangat lagi

Perut kenyang, jam 1 lewat kami meneruskan perjalanan naek angkot no 42, menuju pos berikutnya, Warungkondang. Kemudian berganti angkot 43 menuju Cikancana, desa terakhir yang dilalui angkot. Pilihannya selanjutnya adalah, jalan kaki, naek ojek, atau nyewa angkot. Karena jalan kaki tak memungkinkan mengingat waktu yang udah sore, dan ongkos ojek bertiga lebih mahal daripada naek angkot. Maka kami pilih melanjutkan dianter pak supir angkot 43 sampai ke Pal Dua.
Hampir jam 3 kami tiba di Pal Dua, pos dimana naek gunung yang sebenarnya dimulai. 2 km dari gerbang Gunung Padang, kami mulai berjalan dengan santai. Mencari spot yang bagus untuk bernarsis ria. Pemandangan hijau perkebunan teh di pegunungan yang dikelilingi bukit-bukit memanjakan mata.

Satu jam menempuh jarak 2 km, kami tiba di Cimanggu, daerah terakhir yang persis di bawah Gunung Padang. Rehat sejenak mengisi ulang tenaga, jam 4 kami mulai naek ke puncak. Jalanan menuju puncak berupa tangga batu dengan kemiringan mencapai 35 atau 45 dengan jarak anak tangga yang agak terlalu tinggi, membuat napas cepat ngos-ngosan dan betis cepat pegal.

Tak terlalu lama, terhitung hanya 15 menit waktu yang kami butuhkan untuk mencapai puncak, itu pun udah ditambah waktu untuk poto-poto sepanjang tangga (teteup narsis). Woooww, terpesona akan situs megalitikum terbesar se Asia Tenggara, plus bebatuan andesit yang berbunyi mirip besi kalo dipukul.

Jam 5 kami dipaksa turun oleh seekor anjing lucu (lucu sih sebenernya, tapi gue takut, cowok-cowok juga pada ngeri). Ngga dipaksa sih, tapi caranya melihat kami yg sedang memamah biak kue-kue itu loh yang bikin atut. Kami menyerah, mengemasi barang kami tanpa suara, lalu turun diam-diam tanpa melirik ke si anjing. Dan ternyata dia mengendus-endus bekas tempat kami duduk, mungkin mencari remah makanan. Heleh, laper ya guk?

Beramah tamah sebentar di rumah bapak penjaga, sambil tawar menawar ojek yang akan mengantar kami ke Cireungas. Kami berencana menggunakan jalan balik yang berbeda dengan jalur berangkat. Pal Dua adalah pertigaan yang menuju arah Cianjur lewat Cikancana, Cireungas yang menuju arah Sukabumi, dan ke Gunung Padang.

Jalan ke Cireungas lebih menantang daripada ke Cikancana. Memang lebih dekat, tapi ternyata jalanannya rusak parah. Di jalan, menemukan rel kereta api yang keliatan sedang diperbaiki. Menurut mas ojek, rel itu sedang dibangun untuk kereta Jakarta – Cianjur. Jadi kalo mau ke Gunung Padang, nantinya bakal lebih gampang.

Tepat jam 6, sudah gelap ketika kami tiba di Cireungas. Tanpa membuang waktu, kami langsung oper angkot kuning menuju Sukaraja, dilanjutkan angkot pink kembali ke Sukabumi. Hampir jam 7 kami tiba di Sukabumi, dengan kondisi lapaaaarrr.

Awalnya sih pengen nyobain bandrek dan bandros, tapi ternyata warungnya belum buka. Membelok ke jalan A. Yani, kami masuk ke sebuah warung, kemudian memesan 2 porsi sop sapi dan 10 tusuk sate kambing, yang tandas dalam 15 menit. Pada laper apa doyan se?

Keluar warung, terlihat sekoteng di pojok ujung jalan, melambai-lambai memanggil kami. Tak ingin mengecewakan, kami pun mampir dan memesan 3 porsi sekoteng Singapore. Sekoteng Singapore rasanya sedikit beda daripada sekoteng biasa. Lebih berasa susu daripada jahe. Plus ada topping biscuit dan satu bahan yang sampai sekarang belum teridentifikasi.

Kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke terminal, menumpang angkot yang saya lupa warnanya. Tapi ternyata bus Sukabumi – Jakarta habis jam 5. Wah informasi yang kami dapet salah, katanya sampe jam 8 malem. Terpaksa deh kami naek mobil setan lagi menuju Bogor.

Udah cape banget, begitu PW di dalem mobil, tak lama semua terlelap. Saya kira, perjalanan kami akan happy ending tanpa halangan. Tapi ternyata salah, belum jauh dari Sukabumi, supir mobil setan meminta semua penumpang untuk turun, katanya remnya macet. Dan kami dioper ke mobil lain.

Jam setengah 11 malem kami tiba di Ciawi, Bogor. Mencari bus sekenanya menuju Jakarta. Dapatlah bus tujuan Bandung – Merak, kami turun di Slipi, sudah hampir tengah malam. Naek bus P-06 ke arah perempatan Kuningan, dan kami pun berpisah disitu.

Sebelum berpisah kami setuju bahwa perjalanan kami adalah perjalanan paling menantang, tak terduga, dan ngeluyur dalam arti yang sebenar-benarnya. Luckily, kami hanya bertiga, tak terbayang kalo rombongan kami lebih banyak, memaintenance perasaan banyak orang bakal lebih susah. Untung kami bertiga adalah pramuka tak kenal akan susah, apa guna keluh kesah hiahahahaha

Nice work, nice trip bro!!!

Ringkasan rute, estimasi waktu dan biaya per orang :
Jakarta – StasiunBogor : KRL : 7.00 – 8.00 : Rp. 2.500
Stasiun Bogor – Terminal Baranangsiang : Angkot 03 : 8.00 – 8.30 : Rp. 2.000
Terminal Baranangsiang – Terminal Degung : Colt L300 : 8.30 -11.30 : Rp. 11.000
Terminal Degung – Ramayana : Angkot Ijo : 11.30 – 11.45 : Rp. 2.500
Ramayana – Sukaraja : Angkot Pink (01) : 11.45 – 12.15 : Rp. 2.000
Sukaraja – Gekbrong : Angkot Biru Muda : 12.15 – 12.45 : Rp. 2.500
Gekbrong – Warungkondang : Angkot 42 : 13.15 – 13.45 : Rp. 2.500
Warungkondang – Pal Dua : Angkot 43 : 13.45 – 14.45 : Rp. 25.000
Pal Dua – Cimanggu : 14.45 – 15.45
Cimanggu – Gunung Padang : 15.45 – 16.00
Gunung Padang : 16.00 – 17.00
Gunung Padang – Cireungas : Ojek : 17.15 – 18.00 : Rp. 17.000
Cireungas – Sukaraja : Angkot : 18.00 – 18.30 : Rp. 2.500
Sukaraja – Sukabumi : Angkot : 18.30 – 18.45 : Rp. 2.500
Sukabumi – Terminal Degung : Angkot : 19.45 – 20.05 : Rp. 2.000
Terminal Degung – Ciawi : Colt L300 : 20.15 – 22.30 : Rp. 12.500
Ciawi – Slipi : Bus : 22.30 – 23.30 : Rp. 15.000
Slipi – Perempatan Kuningan – Bus kota : 23.45 – 24.00 : Rp. 2.500

Total biaya plus makan plus jajan lain-lain : 130.000

Alternatif rute :
Jakarta – Bogor – Sukabumi – Sukaraja – Cireungas – Gunung Padang (kayaknya lebih cepet)

Foto-foto narsis
Video

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

Bangun pagi berasa biasa… Emang bener sih, dirayakan atau engga, diperingati atau engga, tahun toh juga bakal ganti :P

Sepagian saya sama Dina berkompetisi ngegame Farm Frenzy 2. Sumpah, penting banget…!!! Hyahahahhaaha…

Sampe tau-tau hampir jam setengah satu, padahal kemaren saya pesen travel jam setengah dua. Mana perut keroncongan pula.

Bergegas mandi, lalu saya dan Dina memulai perjalanan panjang mencari makan siang. Uuuhhh, banyak banget yang tutup, teller kali ya abis malem taun baruan.

Pas baru abis makan, travelnya telfon dan konfirmasi kalo saya uda dijemput. Hiks, it’s time to say goodbye to Malang, to my partner in crime ever… Gonna miss you Din :(

Jam 5 sore nyampe di Juanda International Airport. Langsung check in, langsung ke musholla, sholat Ashar sambil menunggu boarding. Harap-harap cemas, saya nga mau jauh-jauh dari musholla. Flight 18.30, saya berharap masih ada waktu buat maghrib dulu. Sms ke Ry, minta dikasih tau kalo udah masuk maghrib buat Surabaya.

Menunggu sambil membaca Canting-nya Arswendo Atmowiloto, novel jadul sekali :P ditemani lagu-lagu rancak di Ipod. Jam 6 kurang 10, pada waktu yang tadi Ry bilang biasanya udah maghrib, tapi belom ada konfirmasi.

Beberapa menit sebelum jam 6, flight saya dipanggil boarding, tepat saat Ry sms : “Maghrib Bunda…”. Alhamdulillah, saya langsung melesat (ngesot ding….backpack saya berat naudzubillah…) masuk musholla.

Bergegas, saya antri untuk boarding, menggendong backpack yang rasanya bikin saya mo roboh ke belakang :( masih sambil menyeret tas Chila :(

Pesawat mulai lepas landas, diiringi gerimis. Sepanjang jalan juga berasa naik kuda. Turbulensi dan turbulensi :( bikin deg-degan aja.

20.05 mendarat di Bandara Internasional Soeta…dijemput Ndut….langsung naek Damri menuju Blok M. Turun sebelum Semanggi, oper naek taksi ke Benhil karena saya ngidam bubur ayam. Nyampe kosan, langsung makan bubur……..yang berasa aneh, dan saya pun muntah…

**Thanks to :
• Adit dan Dian-nya (nice to meet you Bu Adit :P)
• Lulu
• Mas Toton
• Ry
• Dina (big big thanks to you dear…)
• Pihak-pihak yang telah membantu kelancaran perjalanan saya (halah….)

bukti kejahatannya

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr