Footprint

Sebenernya saya bukan fans berat matahari terbit, tapi matahari terbenam. Lebih eksotis, gitu. Tapi karena pas kemarin dapat kesempatan (baca: tiket murah) buat ngeluyur ke negeri matahari terbit, alias Jepang, ya sudah, pergilah saya. *sampai di sini udah boleh kok kalo mau gebuk*

Sampai sekarang, saya tetep nggak tahu di sana sebenernya mataharinya ada berapa dan apa lebih sering diskon daripada Matahari Pejaten Village. *silakan gebuk lagi*

Jepang adalah negara pertama di luar wilayah ASEAN yang berhasil saya keluyuri. Negara pertama juga yang buat ke sananya musti pakai visa (yang bukan visa on arrival). Jadi, banyak hal yang musti saya lakukan dan alami buat pertama kalinya dalam seumur hidup untuk persiapan ke sana.

Ngurus visa udah pasti, berburu kostum winter karena saya pergi pas suhu udara di sana nggak jauh-jauh beranjak dari angka 3-4-5-6-7 derajat celcius. Beda tipis lah sama Semeru. Ya tapi beda jauh kalo secara geografis. *silakan gebuk untuk ketigakalinya*, dan di luar hal yang memang sudah terprediksi, saya musti banget berhadapan dengan hal tak terduga berjudul “CARRIER GUE ILANG”.

Carrie gue (yang sempet) ilang
Carrie gue (yang sempet) ilang

Nggak pernah kebayang di pikiran saya, sengaco-ngaconya perjalanan saya ke mana-mana, sampai ada kejadian carrier ilang. Kalo barang kecil yang ilang, hape, duit, kamera, atau apalah, mungkin masih bisa. Tapi ini yang ilang, carrier gue! Dan itu carrier ilangnya bukan di bagasi, tapi di bandara, di depan mata. *eh di belakang sih*

Jadi waktu itu saya baru landing di LCCT Kuala Lumpur dan makan di salah satu restoran fast food sambil nunggu connection flight ke Osaka. Saya taruh carrier saya di troli, dan saya duduk persis di depan troli itu, tapi posisi saya membelakangi troli.

Lagi asik-asik makan, temen saya yang duduk di depan saya, menghadapi troli, tiba-tiba nanya, “Kid, carrier lo ke mana?” Refleks saya nengok, dan menemukan carrier saya beserta trolinya hilang tanpa jejak.

Ya paniklah saya!

  • Pertama: saya cuma bawa satu tas, carrier itu, semua barang saya di situ. Termasuk baju winter yang saya ga tau gimana bertaha di suhu Jepang tanpa baju-baju itu. Well, untungnya hape dan passpor saya pegang.
  • Kedua: saya taruh duit sekitar 80.000 yen, sekitar 8jutaan rupiah di dalamnya. Matik!
  • Ketiga: sayang banget kalo Deuter kesayangan saya itu ilang :(

Saya dan temen saya langsung bagi tugas. Dia nyari ke dalam terminal, saya nyari ke arah luar. Jadi jogging-lah saya keliling bandara, dapat tiga kali putaran. Hasilnya nihil. Carrier saya gone!

Akhirnya saya masuk ke pos polisi bandara. Muka kucel, keringetan, tapi tetep cantik *iya silakan gebuk lagi* dengan gelagapan saya bilang, “I lost my bag.” Trus seruangan pos polisi tiba-tiba hening, not responding, kayak di-pause.

Saya ulang lagi, “I lost my bag.” Barulah petugasnya kayak sadar. Terus nanya segala macem. Lalu saya diminta oleh beberapa mas-mas di situ, yang belakangan ternyata semacam intel berpakaian biasa *mukanya ga ada tampang polisi* *kayak tau muka polisi Malay kayak gimana aja* untuk menunjukkan lokasi kejadian, dan reka ulang.

Habis gitu saya diajak ke pos lagi. Ditanya macem-macem lagi, sementara petugasnya ngecek CCTV dan sibuk koordinasi dengan petugas di sisi bandara yang lain. Saya? Lemes. Duduk di pojok ruangan.

Tiba-tiba temen saya masuk ke pos, dan bilang: “carrier lo ketemu.” Semua orang di pos nengok ke dia. Lalu temen saya cerita, setelah keliling bandara beberapa kali, dia lihat ada ibu-ibu kebingungan megang troli yang isinya carrier saya. Ternyata, ibu itu salah ambil troli, dan dia juga kebingungan itu barang-barang di troli yang dia pegang punya siapa.

Fyuh! Untunglah saya masih beruntung. Jadi batal kedinginan di Jepang, batal kere kehilangan duit segitu banyak, dan yang terpenting, batal kehilangan carrier kesayangan.

*sujud syukur di depan counter check in LCCT*

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint, Mumble

Kalo kata orang-orang, judulnya spoiler banget. Iya, emang! Harafiah seharafiah-harafiahnya.

Jadi cerita ini berawal dari agenda untuk ngurus pengajuan visa Jepang. Saya baru inget kalo alamat di Paspor dan KTP sekarang beda, karena saya pindah rumah. Sementara, Kedubes Jepang itu membagi pelayanan pengajuan visa di Konsulat per wilayah Yuridiksi. Yang artinya, kalo KTP dan Paspor ngana alamatnya di Ambon, janganlah iseng ngajuin visanya di Jakarta. Topik pengajuan visa Jepang ini nanti saya bahas terpisah lah, ya. Karena di sini bukan itu inti permasalahannya. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

25 Januari 2013.

Setelah kemarin tour de temple, hari ini rencananya adalah city tour Bangkok. Targetnya adalah Museum Madame Tussauds, Jim Thompson House, dan Patpong night market.

Pengamen di depan Bangkok Art and Culture Centre
Pengamen di depan Bangkok Art and Culture Centre

Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

24 Januari 2013.

Dikarenakan satu (baru balik dari Khao San jam 2 pagi) dan lain hal (cape dan ngantuk parah), saya baru berhasil menarik diri dari kasur-ke kamar mandi-keluar LGH sekitar jam 10 pagi. Itinerary hari ini adalah, wisata budaya. Alias keliling dari candi ke candi.

Temple of Dawn at Twilight
Temple of Dawn at Twilight

Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Footprint

Setelah perjalanan ramai-ramai bertujuh ke Singapura bulan lalu, bulan ini tim jalan-jalan cuma berdua aja. Kami menuju bandara Soekarno-Hatta dalam cuaca dan arus lalu lintas Jakarta yang nggak bersahabat. Tiba di bandara pukul 15.45, satu jam sebelum flight kami menuju Bangkok.

Dalam setiap perjalanan, saya membiasakan diri untuk web check-in dulu dan menerapkan prinsip traveling light untuk menghemat waktu, termasuk kali ini. Apa hubungannya traveling light dengan menghemat waktu? Selain mengurangi keribetan sepanjang jalan akibat narik-narik koper dan barang bawaan lainnya yang otomatis akan memperlambat gerak dan memakan waktu, beberapa kali saya alhamdulillah diizinin masuk ke pesawat ketika “terpaksa” telat tiba di bandara, karena saya nggak membawa barang yang perlu masuk bagasi, cuma satu ransel yang bisa masuk kabin pesawat. Mungkin kalau saya perlu drop bagasi, ceritanya akan lain lagi. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr