Seriously Serious Thoughts

Ketika Diam Adalah Keberpihakan

Jika kamu seberuntung saya, lahir dan tumbuh besar, atau minimal tinggal cukup lama di negeri semajemuk Indonesia ini, saya (hampir) yakin kamu juga seberuntung saya yang punya teman, teman baik, sahabat, atau bahkan saudara yang ‘berbeda’ SARA-nya. Entah itu sekadar berbeda suku, agama, ras, atau kalau beruntung sekali, malah kombinasi semuanya.

Tapi jika ternyata, entah gimana caranya, kamu nggak seberuntung saya? Sudah. Nggak perlu dibaca lanjutan dari tulisan ini, karena nggak akan relevan buatmu. Tapi dibaca aja juga nggak papa. Siapa tahu sesudah baca, kamu jadi tertarik punya teman yang nggak selingkup aja.

Nah, balik ke topik awal. Lagi-lagi, belakangan ini saya merasa banyak orang yang sedang sensitif sekali. Gampang sekali menuding kelompok-kelompok yang berbeda dengan tudingan negatif. Dan yang saya lihat, fenomena ini nggak satu arah. Saling tuding dari segala arah dan seringkali salah arah. Salah konteks. Sampai-sampai saya sering merasa goblog karena ‘logika’ saya nggak sampai. Ya sorry, kalau saya nggak ‘sepinter’ itu.

Dan yang bikin saya lebih sedih adalah, kalau lagi tuding-tudingan kayak gitu itu, apa nggak inget sama teman, teman baik, sahabat, atau bahkan saudara (yang tadi saya sebut di atas) yang kebetulan sekelompok sama orang yang dituding itu? Kebayang nggak ‘sedihnya’ mereka kalau tahu secara tidak langsung kamu juga menuding mereka?

Saya jarang sekali vocal soal beginian. Tapi tiga bulan ini *spesifik sekali ya periodenya* rasanya diam atau netral itu tidak bisa lagi dijadikan pilihan. Sebab diam dinilai sebagai keberpihakan. Tidak menolak berarti setuju. Entah setuju sama yang mana, tergantung pihak mana yang menduga dan berprasangka.

Saya sekali lagi cukup beruntung, dikelilingi oleh banyak orang yang cukup ‘bebal’ kepalanya untuk bersikap netral dan obyektif dan nggak gampang oleng sama tudingan. Saya cukup optimis jika kamu masih baca sampai kalimat ini, kamu juga cukup ‘bebal’.

Tapi ternyata, tanpa kita sadari, sikap ketidakikutikutan kita ini *cie kita cie* bisa jadi memperburuk keadaan. Yang menuding, akan melihat kita ‘setuju’ dengan sikap mereka. Yang dituding, akan melihat kita ‘membiarkan’ hal itu terjadi meskipun kita tidak setuju.

Kembali ke topik awal lagi, bakal lebih sedih lagi jadi kita yang diam ini. Gimana kalau yang sedang dituding adalah teman, teman baik, sahabat, atau bahkan saudara kita? Lebih sedih lagi, kan? Kita nggak setuju sama tudingan yang dilontarkan, tapi karena kita diam, teman, teman baik, sahabat, atau bahkan saudara kita ini akan melihat kita membiarkannya. Ujung-ujungnya mereka sedih karena kita begitu. Kitanya sedih karena kita nggak begitu. *ah elah semua jadi sedih kecuali yang sibuk tuding-tuding*

Well, daripada saya depresi karena sedih, saya memilih melawan. Caranya? Sebisa mungkin saat ada tuding-tudingan yang nggak jelas dasarnya dan maksudnya, yang saya nggak setuju, yang mengarah ke teman, teman baik, sahabat, atau bahkan saudara, saya akan bilang ke mereka, #KamuTidakSendiri. I care about you and I got your back.

That’s the least thing I could do for now.

Yang saya tahu, berbuat baik itu sama yang paling dekat dulu. Bagaimana menurutmu? :)

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr

8 Comments to “Ketika Diam Adalah Keberpihakan”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.