Mumble

Melawan TBC Paru-Paru

Saat pertama kali didiagnosa TBC Paru (11 Juni 2019), yang pertama kali kepikiran sama saya adalah, “Di mana saya ketularan penyakit ini?”

Setelah saya runut balik, agak susah menemukan lokasi pastinya. Dari awal 2019 kemarin, saya memang lagi traveling mulu. Februari sampai akhir Maret saya ngider dengan rute UEA – Indonesia – Jepang – Hong Kong – Indonesia – UEA. Di antara rute itu, beberapa kali stay di airport cukup lama (kadang overnight) karena nunggu penerbangan berikutnya.

Saya inget banget, habis dari Jepang (kena winter) pas sampai di Hong Kong kena hujan, saya udah mulai ga enak badan. Rasanya kayak mau gejala flu gitu. Agak demam dan mulai batuk-batuk. Saya pikir wajar lah, mungkin ‘cuma’ kecapekan.

Setelah itu di Indonesia sekitar sebulan, batuk datang dan pergi. Pas mau balik ke UAE (awal Mei) batuk mulai parah tapi masih saya remehin. Dua minggu di UAE, akhirnya saya ke rumah sakit. Diagnosa awalnya adalah bronkitis, second diagnosisnya asma.

Setelah dikasih obat dan inhaler, dalam seminggu batuknya ilang, dada enteng. Udah seneng nih! Tapi pas obatnya abis, batuknya kembali, dan ditambah demam plus susah tidur pas malam. Akhirnya balik ke rumah sakit lagi dan dokter memerintahkan buat x-ray.

Hasil x-ray keluar, paru-paru saya kotor sekali, banyak flek gitu. Selain hasil x-ray dan tes darah, saya juga dites Mantoux dan tes dahak. Semua hasil tesnya menunjukkan saya positif terinfeksi bakteri TBC. Sama dokter langsung diperintahkan untuk dikarantina.

Seperti yang udah saya ceritain sebelumnya, UEA adalah salah satu negara yang menerapkan penanganan super serius atas kasus TBC. Negara ini berkomitmen menjadi negara yang bersih dari TBC. Itu sebabnya tiap ada kasus TBC ditemukan, penderita wajib dikarantina sampai statusnya tidak lagi bisa menularkan bakteri.

Nggak kayak di Indonesia, ya? Hehe…

Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi ketiga di dunia. Asumsi saya sih salah satunya karena penanganannya nggak ‘serius’ kayak di UEA. Setau saya, pasien TBC di Indonesia nggak pake acara dikarantina di rumah sakit, tapi langsung boleh rawat jalan, jadi mungkin penyebarannya lebih sulit dikendalikan.

Setelah positif didiagnosa TBC, saya dirujuk ke salah satu rumah sakit dalam jaringan SEHA yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah UEA. Setau saya, penanganan dan pengendalian TBC di UEA ditangani oleh pemerintah, jadi biasanya semua pasien akan dirawat di rumah sakit SEHA. Perawatan di rumah sakit pemerintah ini sifatnya GRATIS, ya. Alias tidak bayar sama sekali. *hamdalah*

Pasien TBC akan dikarantina dan diobservasi selama minimal dua minggu di SEHA sampai AFB smearnya negatif yang artinya bakteri TBC yang ada dalam tubuhnya sudah tidak bisa menular. Siklus pengobatan di SEHA ini per dua mingguan. Jadi selama dua minggu pasien akan diberikan 4 jenis antibiotik: Isoniazid, Rifampin (Rifadin, Rimactane), Ethambutol (Myambutol), dan Pyrazinamide. Dalam kasus saya, saya dikasih tambahan vitamin B6 (Pyridoxine).

Setelah dua minggu pengobatan, pasien akan diambil sample dahaknya dan dites buat ngeliat apakah AFB smear-nya masih positif. Kalo masih positif, pasien akan melanjutkan perawatan dan pengobatan selama dua minggu lagi. Siklus dua mingguan ini akan terus dilakukan sampai AFB smear negatif.

Jadi nggak ada ceritanya nih pasien yang masih bisa menularkan bakterinya bebas berkeliaran di jalanan, kayak di negara-negara berbunga-bunga itu~ Baru deh kalo bakterinya udah negatif, pasien boleh keluar rumah sakit dan kemudian dilanjutkan dengan rawat jalan.

Rawat jalan pasien TBC di UEA juga nggak main-main. Setiap minggu pasien diwajibkan ‘setor muka’ ke rumah sakit untuk dicek penggunaan obatnya udah bener atau ngaco. Pasien dikasih kartu yang wajib diisi setiap  hari untuk kontrol obatnya jangan sampai lupa diminum. Pengobatan ini dilanjutkan sampai genap 6 bulan.

Jadi nih, saya masih musti terus minum obat sampai bulan Desember nanti. :’)

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.