Footprint

Pukul lima sore hari itu, dia sedang tidak ke mana-mana, di luar hujan turun seharian. Ponsel yang diletakkannya di meja sudut ruang keluarga berdering. Setengah berlari dia dari dapur, sambil menjaga agar secangkir kopi susu panas yang baru dia seduh tidak tumpah. Cangkir kopi ketiganya hari ini.

Panggilan dari Jakarta. “Halo?” Sapanya singkat.

Setelah beberapa kalimat pembuka, lelaki di ujung telepon mengabarkan bahwa cerita tentang perempuan dan kopi yang ditulisnya, membuatnya terpilih untuk ikut dalam perjalanan ke perkebunan dan salah satu pabrik kopi terbesar di negeri ini. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia menahan diri supaya tidak menjerit kegirangan.

Sesudah telepon ditutup, dia tersenyum-senyum sambil menyesap kopi susu di tangannya yang sudah sedikit dingin. Jantungnya masih belum bisa ditenangkan. Pipinya memerah. Mau pergi ke kebun kopi senangnya seperti mau bertemu kekasih. Dia tak sabar lagi! Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Alana Series, Footprint

Jangan berjalan, waktu! Ada selamat ulang tahun yang harus tiba tepat waktunya.
~ Dee Lestari ~

Menjelang tengah malam Waktu Indonesia Bagian Lodtunduh, Lana buru-buru menulis beberapa baris kalimat di selembar kartu pos kosong yang selalu dibawanya ke mana-mana. Dia akan berulang tahun. Lelaki yang membuatnya patah hati akan berulang tahun. Bukan mantan kekasih. Tetapi seseorang yang pernah dengan bodohnya dipercaya oleh Lana, diberi izin untuk mematahkan hatinya. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Alana Series, Footprint

Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. ~ KLa Project

Kereta merapat ke Stasiun Lempuyangan pukul delapan malam. Lana tiba dengan kesendiriannya. Tidak ada seorang pun yang menunggunya datang. Tidak ada rindu. Tidak ada pelukan. Tidak pulang. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Mumble, Wordplay

Saya mulai menghafal kebiasaannya.

Sebelum matahari terbit…

Dia terjaga dari mimpi yang biasanya langsung dia lupakan saat itu juga. Menyapa dirinya sendiri dari cermin sambil merapikan rambutnya yang berantakan sekadarnya pakai tangan. Berjalan ke dapurnya yang mungil untuk menjerang air dan menyeduh satu setengah sendok kopi hitam, tanpa gula. Membawanya ke depan jendela tempat dia menunggu matahari terbit. Lalu diam mendengarkan musik akustik yang memenuhi seluruh ruangan. Dia suka uring-uringan kalau salah satu dari rangkaian kebiasaannya itu terlewatkan. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr
Wordplay

Minggu pagi. Langit masih muram sebab hujan belum menunjukkan tanda akan berhenti dari semalam. Lilac mengerlingkan matanya ke arah dinding bertekstur bata merah di sisi kanannya. Baru pukul sembilan.

Diaduknya perlahan secangkir hangat teh melati yang wanginya bersaing dengan roti panggang untuk menguasai ruangan. Kemudian ditariknya satu dari dua kursi yang semula berhadapan hanya terpisah meja makan di dapur kecil miliknya, tepat ke depan jendela.

Lilac sangat suka duduk berlama-lama menatapi bulir-bulir hujan membasahi kaca yang di depannya terdapat sederet pot-pot bunga aneka warna yang ditanamnya. Saat hujan deras sampai dingin membuat kaca-kaca jendelanya berembun, Lilac mengambil sumpit dari ujung meja, dan menulis sebaris pendek puisi di situ. Puisi yang selalu hanya untuk satu orang. Continue Reading

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr