Footprint

Asiknya Traveling Sendiri. Episode: Mendadak Jadi Penduduk Lokal

Salah satu hal yang membuat saya suka sekali traveling sendirian adalah kemungkinan untuk bisa berinteraksi dengan penduduk lokal, atau orang lain jadi lebih mudah. Dengan pergi sendiri, kita secara tidak langsung ‘membuka’ kesempatan bagi orang lain untuk mendekati kita.

Kemungkinan orang lain untuk menyapa akan lebih terbuka daripada kalau kita pergi berombongan. Kalau meminjam istilah teman baik saya, orang jadi tidak segan menyapa karena dia nggak perlu merasa terintimidasi karena ‘menghadapi’ sekelompok orang asing sekaligus, dan berawal dari sebuah sapaan, bisa jadi berujung ke ‘sekadar’ pengetahuan baru, atau bahkan ‘persaudaraan’.

Salah satu cerita menarik saya alami saat saya sedang jalan ke Flores. Pulau cantik di bagian Indonesia tengah ini adalah pulau yang membuat saya terkesan sekali, terutama dengan keramah-tamahan orang-orangnya. Wajah dan intonasi bicara yang cenderung keras, tapi hati yang luar biasa baik dan lembut.

Dua minggu di Flores, cuma dua hari penginapan yang saya bayar. Sisanya? Ditolong orang, mulai dari ‘sekadar’ dikasih tumpangan kendaraan, tumpangan tempat tidur, bahkan ‘tumpangan’ makan.

Yang kali ini saya mau ceritakan kali ini adalah dua keluarga. Yang pertama, di desa Pela, Ruteng, Flores. Saya tiba di Ruteng sudah malam waktu itu. Saya membuat teman saya menunggu di sebuah kios cukup lama karena bus yang saya tumpangi sempat mogok. Sampai akhirnya teman saya ini ditolong bapak yang punya kios, disuruh menginap saja di rumahnya.

Teman saya bilang, setelah sampai di Ruteng saya disuruh SMS bapak supaya dijemput. Jadi ini ceritanya, belum kenal dan belum ketemu orangnya, tapi udah dijemput. Padahal jarak dari Ruteng ke rumah bapak ini sekitar setengah jam perjalanan di tengah kegelapan. *menjura*

Ujung-ujungnya, kami tinggal sekitar tiga harian di rumah bapak ini. Dan ada kejadian yang makin bikin terharu. Pada salah satu hari di saat kami tinggal di rumah itu, kami pergi main ke Waerebo naik motor. Karena di Waerebo-nya nggak nginap, kami pulang cukup malam karena sempat nyasar. Kalo nggak salah, sekitar jam 11 malam gitu.

Rumah Pela
Rumah Keluarga Pela :)

Pas kami sampai rumah, disambut dengan kekhawatiran mamak yang belum tidur dan bapak dan om yang belum makan malam…….. karena menunggu kami pulang. *kemudian saya sampai speechless* *dan merasa bersalah banget*

Habis dibikin terkesan sama kebaikan keluarga di Pela ini, saya dibuat lebih takjub lagi karena setibanya saya di Labuan Bajo, dan pergi ke Pulau Komodo, saya ‘dipungut’ jadi anak dan dikasih keajaiban buat tinggal selama seminggu di Desa Komodo. Hah!

Kisah dipungut jadi anak Desa Komodo ini buat besok, yaaa~ kalo inget. *digampar*

 

~

PS: Sampai sekarang, saya masih suka kadang SMS kadang telefon sama keluarga di Flores ini. Bapak saya yang di sana ini adalah guide untuk wisata ke Desa Waerebo, jadi kalo ada yang perlu jasa guide ke Waerebo, boleh kontak saya, ya. Nanti saya kenalin ke bapak :)

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.