Alana Series, Footprint

Malioboro, Suatu Malam

Pulang ke kotamu ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat. ~ KLa Project

Kereta merapat ke Stasiun Lempuyangan pukul delapan malam. Lana tiba dengan kesendiriannya. Tidak ada seorang pun yang menunggunya datang. Tidak ada rindu. Tidak ada pelukan. Tidak pulang.

Jemari tangan mungilnya cepat menari di atas layar ponsel pintar.

“Gue di Jogja. Ketemu di Malioboro, ya! Gue bawain lo kopi.”

Bergegas dia keluar dari pintu gerbang stasiun dan segera disambut puluhan lelaki yang kebanyakan sudah berumur, menawarkan jasa becak. Lana memilih secara acak dan meminta diantar ke Malioboro. Beberapa detik setelah kayuhan pertama, bapak tukang becak yang ditumpanginya mulai mengajaknya berbincang.

Lana membatin, “Sial! Salah pilih!”

Lana tidak siap untuk percakapan. Apapun.

Karena pertanyaannya tidak dijawab, si bapak dengan sopan tidak berusaha membuka topik obrolan lain, tapi diam-diam bertanya dalam hati, “Apa saya salah menanyakan tujuan mbak ini pergi ke Jogja?” Dia tidak tahu, bahwa Lana juga tidak punya jawaban untuk pertanyaannya itu.

“Gue tunggu di depan Terang Bulan. Gue makan dulu.”

Setengah jam berselang, seorang lelaki muda datang menghampiri dan memberi pelukan yang buru-buru dilepaskan Lana dengan canggung.

“Hei, apa kabar? Gantengan sekarang. Mana rambut gondrong lo?” tanya Lana berusaha memecah kekakuan.

Lelaki yang ditanya, Aloydio Pratama, tertawa keras sampai beberapa orang yang sedang makan di sekitar mereka menoleh penasaran.

“Baik kok, Na. Gue sekarang kerja kantoran, nih. Jadi kudu rapi.” Jawab Dio menahan tawa sambil melambaikan tangan kepada pelayan untuk memesan segelas kopi.

“Tunggu! Lo doyan kopi manis, nggak? Kalo doyan, lo minum aja kopi gue ini. Biar gue yang pesen baru. Yang nggak terlalu manis.” Dio mengangguk, membiarkan Lana memesan satu gelas kopi baru, kemudian membuka ranselnya dan mengambil dua bungkus kopi.

“Nih, kopi buat lo. Yang satu dari kebun belakang rumah gue. Light roast. Kayak yang biasa lo suka. Yang satunya gue beli kemaren dari Aceh, Gayo, Robusta. Bonus buku nih!”

Dio mengambil alih barang-barang yang disebut dari tangan Lana. “Banyak amat? Dan lo bawel amat?” tanyanya sambil mulai menciumi wangi kopi, senang. Lana membiarkan pertanyaan itu menggantung beberapa saat untuk menikmati senyum hangat dari wajah sahabatnya. Kehangatan yang seharusnya selalu ada di antara mereka. Seharusnya.

“Lintang nggak tahu kalo gue mau ketemu lo.” Alih-alih menjawab pertanyaan Dio, Lana malah mengatakan hal yang membuat ekspresi Dio berubah seketika.

“Dan dia nggak perlu tahu juga, sih.” Lana menambahkan satu kalimat di antara hening yang tiba-tiba ada di antara mereka hingga pelayan datang mengantarkan pesanan kopi pahit Lana.

“Lo tidur di mana malem ini? Mau ikut gue ke kantor aja? Gue nginep di kantor. Ada deadline.” Tanya Dio berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Udara malam mendadak terasa berat di dadanya.

Lana mengaduk-aduk kopi di depannya, lalu meminumnya seteguk sebelum menjawab, “Iya, boleh. Sorry, tadi gue kelepasan ngomong.”

“Jadi, lo akhirnya resign?” Dio mengabaikan pernyataan Lana, tidak mau membahasnya, tidak sekarang. Dia benar-benar berusaha mencairkan kebekuan. Lana mengangguk.

“Apa yang akhirnya bikin lo yakin?”

Lana menghentikan kegiatannya mengaduk kopi, kemudian berkata, “Manusia hidup itu butuh bergerak, melangkah. Gue ngerasa ada di jalan yang salah. Gue jadi nggak bisa melangkah karena gue udah tahu langkah gue bakal salah. Itu yang meyakinkan gue buat cabut. Gue nggak mau kehilangan esensi gue sebagai manusia, yang melangkah. Yang hidup.”

“Lo nggak ngerasa hidup?”

“Sempat. Gue ngerasa cuma ada, nggak hadir. Pikiran gue sibuk ke mana-mana, gue nggak mikirin apa yang gue kerjain saat itu. Lo tahu autopilot mode?” Dio menjawabnya dengan anggukan. Cukup anggukan, bukan kata-kata. Sebab dia tahu, Lana sedang butuh bicara. Maka dia dengan sukarela mengambil alih peran pendengar.

“Nah! Kayak gitu hidup gue kemarin. Bahkan gue sampai….”

Sebuah dering lembut memotong percakapan. Dio dan Lana melirik bersamaan ke arah ponsel Lana yang tergeletak di meja, di antara mereka. Satu pesan masuk, Lintang Raina. Lana refleks menatap Dio, yang ternyata sudah menatapnya lebih dulu.

“Apa kabar dia?” tanya Dio hati-hati.

Lana menghela napas, “Gue rasa, sekarang lo udah nggak berhak tahu lagi tentang Lintang.”

~

Baca Chapter 2

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr

2 Comments to “Malioboro, Suatu Malam”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.