The Life of a Freelancer

The Life of a Freelancer

Sebuah mukadimah~
*halah*

Jadi ceritanya, saya sempat bikin tweet berseri tentang serba-serbi menjadi seorang pekerja lepas, alias freelancer, yang mana thread-nya jadi ramai sekali dan ternyata banyak yang antusias. Atas dasar itu, saya rencananya akan membuat blog post berseri juga untuk membahas hidup seorang freelancer (a.k.a naishakid) secara lebih panjang dan komprehensif di blog saya ini. Ke depannya, silakan ikuti kategori “The Life of a Freelancer” atau tag “#freelance101“.

Sebelumnya, mohon jangan dikritisi ya, cara penulisan saya yang semi bercanda, campur-campur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (InsyaAllah ga akan ada bahasa Timbuktu, karena saya ga ngerti), dan juga jika ada typo yang tidak disengaja (maupun yang disengaja). Hal-hal tersebut dalam rangka agar blog post ini terasa tidak seperti artikel ilmiah dan serius banget (kalo terlalu serius, nanti nikah lho(?)). Mohon diambil hikmahnya saja.

Oh ya, saya nulisnya topiknya ngacak, ya. Dalam artian, ga pakai kerangka terstruktur dan silabus yang benar. Pokoknya lihat gimana mood saya aja mau nulis apa.

~

Oke, saya akan cerita dulu tentang latar belakang saya, dan bagaimana awalnya saya bisa terjun ke dunia freelancing. Sebenernya ini sudah pernah saya singgung di tulisan ‘fenomenal’ saya buat Phinemo, tapi tentu saja, mungkin ga semua pernah baca ye, kan? Jadi saya ceritakan ulang aja.

Mengutip dari tulisan saya di artikel tersebut:

Pada akhirnya, tiba saatnya saya merasa benar-benar ingin punya cukup waktu untuk traveling, memutuskan untuk mengemasi barang-barang dan meninggalkan tumpukan pekerjaan (kantoran) untuk mulai berjalan.

Memang itulah yang terjadi pada saya, circa tahun 2014. Setelah bertahun-tahun menahan diri dan membetahkan diri untuk kerja kantoran, akhirnya pertengahan tahun itu mencapai puncaknya saya eneg. Di tahun itu memasuki sekitar 9 tahunan total masa kerja saya di kantor. Kayaknya udah tua banget, ya, kerja 9 tahun?

Ga juga, sih. Saya mulai kerja sejak lulus SMK (jurusan Informatika), di umur 18 tahun saya sudah ‘masuk kantor’. Saya kemudian kuliah (jurusan Informatika juga), ambil kelas malam sambil paginya masih kerja. Jadi kalo ditelaah, saya punya background pendidikan Informatika, dan pekerjaan saya saat kuliah itu masih berbau Informatika juga.

“Karir” mengantor saya dimulai dari jadi Web Administrator (sekaligus Programmer), kemudian pindah kantor (ke agency) dan berubah jadi Web Designer, lalu sama agency ini saya ditempatkan di client side dengan posisi Web Administrator (lagi, sekaligus Web Designer).  Di kantor client, posisi Web Admin itu ada di bawah divisi PR. Nah karena saya cukup lama ngantor di client ini — sekitar 4 tahunan — jadinya saya banyak belajar teori komunikasi dan tetek bengeknya. Ditambah lagi, pas itu media sosial mulai booming dan saya cukup aktif, khususnya di Twitter.

Dari situ, saya ditawari pindah kantor dengan posisi yang berjudul Social Media Executive. Di posisi ini saya end-to-end banget kerjaannya: mulai dari mikirin strategi media sosial, bikin campaign, kadang ikut ngedit desain (untung udah pernah jadi desainer huft), dan bahkan sampai ngadmin sendiri. Yes, I was a mimin tauk!

Kemudian ada restrukturisasi organisasi di kantor ini yang menjadikan saya adalah simply “Tim Digital”, di mana saya ga cuma handle media sosial aja, tapi juga ngurusin website, mobile apps, sampai digital ads. HOORAAY!

Tapi luar biasa banget emang manfaat jadi orang yang rela ditumpuk-tumpukin kerjaan kayak gitu. Saya jadi belajar banyak BANGET hal baru, terutama semua hal yang berurusan sama dunia digital (yang saat itu lagi lucu-lucunya, pft!). Saya yang dulunya cuma tau coding sama design web, jadi khatam soal media sosial, develop mobile apps, sampe segala jeroan iklan digital mulai dari banner ads, SEM, dan semua anggota keluarganya yang lain :’)

Inilah masa-masa saya mulai merasa, “kayaknya saya udah bisa nih kalo mau mulai merintis ‘karir’ di luar kantor”. Tapi apakah saya sudah yakin mau resign? Tentu belum! Disadari atau tidak, gajian setiap (kira-kira) tanggal 25 adalah sesuatu yang saya masih sangat berat kalau harus kehilangan :’)

Yakin, deh! Bayangan tiba-tiba ga pasti bakal pegang duit itu mengerikan sekali, terutama buat kita-kita yang biasa dapet duit gajian. Freelancer itu kan kayak predator di hutan. Kalo mau berburu (alias kerja), ya bisa makan. Kalo ga, ya siap-siap aja merana.

Di antara ketidakyakinan ini, saya dapat tawaran baru untuk pindah kantor dengan posisi Digital Content Executive. Ini adalah salah satu turning point saya kembali ke dunia literasi. Saya yang dulu punya hobi baca dan nulis, dikasih pekerjaan sebagai penanggung jawab konten digital di sebuah perusahaan multinasional! Di situ saya merasa, oh ternyata saya musti muter sejauh itu untuk kembali ke titik yang saya inginkan.

Ya! Saya pernah mimpi jadi penulis. Mimpi besar! Yang harus saya kesampingkan karena ‘kerja kantoran’ :)))

Anyway, pertengahan 2014 itu akhirnya saya benar-benar yakin bahwa saya harus menyudahi karir saya di kantor dan memulai karir di jalan lain. Pertimbangan saya waktu itu (dan mungkin bisa jadi referensi jika kamu juga sedang berpikir untuk resign dan menjadi freelancer):
– Tabungan cukup untuk bertahan hidup 6 bulan (tanpa gajian atau tambahan pendapatan)
– Pengalaman dan pengetahuan yang cukup mumpuni untuk memulai jalan sendiri
– Jaringan dan koneksi yang sudah mulai terbentuk dengan cukup banyak orang (bekas kolega, bekas client, bekas agency, dll)

Begitulah, akhirnya saya resign lalu mulai mengerjakan hal-hal yang benar-benar saya ingin lakukan tanpa terbelenggu kubikel dan jam kerja lagi :)

Jadi, buat topik #freelance101 selanjutnya, enaknya apa, ya?

Share this:
Facebook Twitter Email Pinterest Tumblr

One Comment to “The Life of a Freelancer”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.